Minggu, 13 November 2011

A STORY FROM AN OLD DIARY


Pagi ini terbangun agak kesiangan. Melewatkan Qiyamul Lail dan jamaah subuh. Siapa yang hendak disalahkan? Tak bijak menyalahkan syaitan, meskipun ia yang rajin merayu, tapi hati ini jua yang tak kunjung istiqomah. Humm,, memang dasar manusia!
          Hari ini masih libur. Meskipun ada agenda training. Tapi sepertinya aku tak hendak pergi, soalnya badan ku terasa agak kurang sehat. Mungkin pengaruh cuaca. Makanya berinisiatif hendak mengistirahatkannya hari ini. Sehabis sholat, lampu padam. Gelap. Untuk sempat masak air dengan magic com serba guna. Hehe.. Soalnya gas di dapur juga abis. Wahh,, bagaimana nasib sarapan pagi ini??
          Akhirnya sembari menunggu lampu hidup kembali, aku membolak-balik diary lama. Zaman SMP dulu. Teringat teman-teman dan cerita kami masing-masing. Teringat guru-guru. Teringat masalah-masalah dulu. Teringat mimpi yang tak sempat tertunaikan. Teringat janji yang tak sempat dibatalkan, tapi sudah terbatalkan dengan sendirinya.
          Kalimat di akhir catatan setiap malam yang selalu terulang adalah ‘semoga esok menjadi lebih baik dan jangan membuang waktu’. Tapi adakah perubahannya hingga kini. Teringat mimpi yang terikrar dulu. Dokter. Hingga kina rasanya masih ada d ujung benak. Sebuah pencapaian yang dulu terfikir bisa membuat bapak dan mamak bangga. Tapi sungguh bapak dan mamak selalu bangga meskipun tak ada yang bisa dibanggakan dari diri ini. Akhir-akhir ini (semenjak aku kuliah dan tinggal jauh dari orang tua) bapak sering sakit. Teringat kembali mimpi itu.
          Sempat terfikir untuk mengulang kembali perjuangan. Karena perjuangan terdahulu belum sampai pada titik pengorbanan. Tapi...
Apa semua yang sudah terlewat ini tak ada artinya? Apa satu tahun d statistika ini hanya sebuah selingan, yang hanya lalu. Kemudian digantikan dengan cerita utama yang lebih menarik?  Apa teman-teman yang ada disini dan bagaimana susahnya menyesuaikan hati dengan karakter mereka hanya kebetulah saja?
          Terfikir lagi, seandainya dulu aku rela berkorban. Seandainya dulu aku tak keras kepala. Seandainya dulu aku tak menjauh. Seandainya dulu aku tak jatuh. Seandainya dulu aku tak membiarkannya memasuki hidup ku. Seandainya dulu aku konsisten. Seandainya... Seandainya... Sungguh kalau semakin di ikuti. Banyak sekali penyesalan yang akan terukir. Tapi apalah gunanya??
          Diary lama itu menggambarkan jelas betapa indahnya senyum itu. Senyum harap dari teman-teman, guru-guru dan yang paling mempesona senyum milik mamak dan bapak. Mengingat itu, meneteslah air mata ini. Tapi apalah gunanya???
Sekarang aku disini. Di negeri yang sejak dulu sangat ingin ku kunjungi. Di negeri yang sejak dulu aku tautkan mimpi ku. Mimpi untuk menjadi dokter di sebuah Universitas tua nan kesohor karena prestasinya. Tapi dengan cerita yang berbeda dari skenario yang pernah aku rajut. Tidak belajar untuk menjadi dokter. Tidak di Universitas itu jua. Tapi Rabb, tak berkurang sedikitpun jua bangganya bapak dan mamak pada ku.
Disini aku mengukir kembali janji itu. Meski tak menjadi dokter. Meski tak kuliah di universitas negeri nan tersohor. Tapi aku akan tetap mempertahankan bangga mereka dengan apapun yang aku bisa!
AKU AKAN MENJADI PENULIS!
AKU AKAN MENDAKWAH ISLAM!
AKU AKAN MENJADI DOKTER KEHIDUPAN!
Ya... Aku akan berjuang dan berkorban....

2 komentar: